Opini oleh : H. Fajar Meronda, SE, MT
Nuansa Sultra – Dalam sistem demokrasi lokal, kritik publik merupakan bagian penting dari dinamika pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, kritik sering kali bergeser dari substansi menuju persepsi yang emosional. Hal ini tampak dari sorotan salah satu kelompok mahasiswa Konawe di Jakarta dan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) terhadap kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe.
Isu yang diangkat pun beragam, mulai dari pembelian mobil dinas di tengah kebijakan efisiensi anggaran, dugaan rangkap jabatan dalam perusahaan tambang, hingga tudingan pengkondisian proyek pemerintah. Ketiga isu tersebut telah menyita perhatian publik dan memunculkan berbagai opini yang belum tentu berdasar pada fakta hukum.
Kita perlu menyadari bahwa pemerintah daerah memiliki hak dan kewajiban administratif dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Misalnya, pengadaan mobil dinas tidak serta merta dapat dianggap sebagai bentuk pemborosan di tengah efisiensi, tetapi dapat menjadi bagian dari kebutuhan operasional agar roda pemerintahan tetap berjalan efektif.
Selama pengadaan tersebut dilakukan melalui mekanisme APBD yang sah serta mendapat persetujuan legislatif, maka kebijakan itu seharusnya dilihat 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘗𝘳𝘰𝘱𝘰𝘳𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭, bukan 𝘌𝘮𝘰𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭.
Demikian pula dengan tudingan adanya dugaan rangkap jabatan atau keterlibatan dalam dunia usaha, serta dugaan pengkondisian paket proyek pemerintah. Dalam sistem hukum Indonesia, setiap tuduhan harus diuji melalui lembaga yang berwenang.
Sebelum ada keputusan hukum yang tetap, asas presumption of innocence atau praduga tak bersalah wajib dijunjung tinggi. Publik berhak mengkritik, namun pejabat publik juga berhak melindungi nama baik dan kredibilitasnya dari opini yang belum terbukti.
Kritik terhadap pemerintah adalah tanda sehatnya demokrasi. Namun dalam praktiknya, kritik perlu disampaikan dengan cara yang cerdas, elegan, dan berdasarkan data. Sorotan publik memang sah sebagai bentuk partisipasi masyarakat, tetapi perlu diingat bahwa setiap kritik idealnya berdiri di atas fakta dan argumentasi rasional, bukan atas prasangka atau pesanan politik.
Pemerintah daerah pun memiliki hak untuk memberikan klarifikasi serta menjelaskan dasar kebijakannya secara terbuka. Di sinilah pentingnya membangun ruang dialog antara mahasiswa, LSM, dan pemerintah agar kritik tidak berubah menjadi polarisasi sosial, melainkan menjadi koreksi yang membangun.
Demonstrasi dan pelaporan ke aparat hukum memang diatur oleh undang-undang. Namun demikian, keduanya bukan satu-satunya cara untuk mencari kebenaran. Langkah yang elegan dan konstruktif dapat ditempuh melalui jalur komunikasi dan dialog. Kritik yang disertai solusi serta didukung oleh data akan lebih didengar, lebih dihargai, dan berpeluang besar melahirkan perubahan nyata.
Mahasiswa dan LSM memiliki peran strategis sebagai penyeimbang moral serta intelektual dalam tata pemerintahan. Peran mereka bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memperbaiki. Gerakan yang dilakukan dengan semangat kolaborasi, bukan konfrontasi, akan memberikan nilai tambah bagi proses pembangunan daerah di Kabupaten Konawe.
Konawe membutuhkan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan kelompok kritis. Mahasiswa perlu menjaga idealismenya dengan nalar, bukan 𝘌𝘮𝘰𝘴𝘪, LSM harus mempertahankan independensinya dengan analisis, bukan 𝘚𝘦𝘯𝘴𝘢𝘴𝘪, dan pemerintah wajib menjaga integritasnya dengan 𝘒𝘦𝘵𝘦𝘳𝘣𝘶𝘬𝘢𝘢𝘯.
Jika semua pihak memilih langkah yang konstruktif, maka demokrasi lokal di Konawe akan tumbuh lebih matang tidak 𝘎𝘢𝘥𝘶𝘩, tetapi 𝘉𝘦𝘳𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘣𝘢𝘯. Karena sejatinya, tujuan akhir dari kritik dan kebijakan adalah sama, yaitu 𝘔𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬𝘪, bukan 𝘔𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘣𝘶𝘳𝘶𝘬.
Editor : nuansasultra.com

























