Opini oleh: H. Fajar Meronda, SE, MT
NUANSA SULTRA – Dalam dinamika pendidikan modern, guru sering kali berada pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka dituntut menjadi pendidik profesional yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, di sisi lain, peran tersebut kerap dibatasi oleh tafsir sempit terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan anak. Padahal, guru bukan hanya pengajar ilmu, tetapi juga pembentuk karakter dan penanam adab sebagai fondasi utama yang menentukan arah masa depan bangsa.
Dulu, teguran guru kepada murid dipandang sebagai bagian dari kasih sayang dan tanggung jawab moral. Namun kini, teguran keras sering disalahartikan sebagai bentuk kekerasan. Padahal, tidak semua teguran adalah penindasan. Sebagian justru lahir dari niat mendidik dan menumbuhkan kesadaran. Dalam konteks ini, teguran sejatinya merupakan bahasa kasih yang keras, bukan kekerasan yang menyakitkan. Guru yang menegur bukan sedang menghukum, melainkan sedang mendidik agar anak memahami batas, tanggung jawab, serta rasa hormat.
Masalahnya, generasi hari ini tumbuh dalam ruang sosial yang sering kali mengabaikan makna adab dan rasa hormat. Anak didik kini lebih mudah tersinggung daripada berusaha memahami maksud baik dari pendidiknya. Adab yang dulu menjadi ukuran kemuliaan kini tergeser oleh pemahaman sempit tentang “hak.” Padahal, hak tanpa adab akan kehilangan maknanya. Hormat kepada guru bukan berarti tunduk tanpa berpikir, melainkan mengakui bahwa di tangan gurulah nilai-nilai kehidupan pertama kali ditanamkan.
Dalam konteks ini, peran orang tua sangat krusial. Orang tua bukan sekadar pihak yang menyerahkan anak ke sekolah, melainkan mitra utama dalam mendidik. Ketika guru menegur anak, seharusnya orang tua tidak serta-merta menuntut atau melapor ke pihak berwenang, melainkan terlebih dahulu memahami konteks pendidikan sebagai proses pembentukan karakter. Pendidikan bukanlah ruang steril tanpa emosi; di dalamnya terdapat dinamika, koreksi, serta pembelajaran dari kesalahan.
HAM dan perlindungan anak tentu penting, namun tidak boleh disalahartikan sebagai pembenaran untuk menolak disiplin dan adab. Perlindungan anak sejatinya bertujuan agar mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendidik, bukan untuk membatasi ruang guru dalam menanamkan nilai-nilai moral. Ketika setiap teguran guru dianggap sebagai pelanggaran, maka hilanglah wibawa pendidikan itu sendiri.
Oleh karena itu, kita perlu meneguhkan kembali pandangan bahwa pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga pembentukan watak dan kesadaran moral. Guru harus dihormati bukan semata karena statusnya, melainkan karena perannya sebagai penjaga peradaban. Setiap teguran yang lahir dari niat mendidik sejatinya adalah cahaya kecil yang berusaha menerangi masa depan anak-anak kita.
Kini, saatnya kita mengembalikan makna pendidikan pada esensinya membentuk manusia yang beradab, berilmu, dan sadar tanggung jawab. Mari kita dukung guru dalam perannya sebagai pendidik dan pembentuk karakter bangsa. Sebab, tanpa ketegasan dan kasih sayang guru, kita hanya akan melahirkan generasi pintar tanpa budi, cerdas tanpa hormat, dan merdeka tanpa arah.
Editor : Nuansasultra. Com

























