, , , ,

Mekongga di Persimpangan Zaman, Antara Amanah Leluhur dan Kepentingan Duniawi

Opini oleh : Hedianto Ismail I Langgai Tonggi Sura Tadu Bilangari

 

NUANSA SULTRA – Kerajaan Mekongga merupakan salah satu warisan sejarah Nusantara yang memiliki nilai budaya tinggi dan peranan penting dalam pembentukan identitas masyarakat Sulawesi bagian tenggara. Berdiri sejak abad ke-13, kerajaan ini dipimpin oleh Raja pertamanya, Sangia Larumbalangi, yang dikenal sebagai tokoh pemersatu dan pelindung adat.

 

Dalam konteks antropologi politik, keberadaan Mekongga menunjukkan bagaimana sistem sosial tradisional mampu melahirkan struktur pemerintahan yang berlandaskan spiritualitas dan kearifan lokal, jauh sebelum konsep negara modern dikenal di wilayah ini.

 

Sistem monarki yang diterapkan di Mekongga bukan sekadar tatanan politik, melainkan juga perwujudan hubungan sakral antara pemimpin, rakyat, dan alam. Raja atau Mokole tidak hanya berfungsi sebagai penguasa administratif, tetapi juga sebagai penjaga keseimbangan kosmos serta perantara antara dunia manusia dan kekuatan leluhur.

 

Tradisi turun-temurun (Adat Istiadat) ini menunjukkan bahwa kepemimpinan di Mekongga mengandung makna spiritual yang mendalam, yang tidak dapat disamakan dengan sistem politik elektoral atau perebutan kekuasaan berbasis kepentingan duniawi.

 

Namun, seiring perubahan zaman, muncul wacana untuk mereformasi sistem penetapan Raja atau Bokeo Mekongga dengan mekanisme pemilihan terbuka di antara keturunan keluarga kerajaan. Usulan tersebut tampak modern di permukaan, tetapi jika ditinjau dari perspektif adat dan sejarah, langkah ini berpotensi menggeser nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi Mekongga.

 

Pemilihan yang bersifat kompetitif dapat menimbulkan perpecahan internal, sementara monarki tradisional menekankan musyawarah, garis trah, dan restu spiritual sebagai landasan legitimasi.

 

Sebagai bagian dari trah Mokole Singgere yang berakar kuat dalam Wilayah Adat Mekongga, saya merasa prihatin terhadap arah yang mulai bergeser dari prinsip leluhur. Dalam pandangan adat, Raja bukanlah jabatan politik yang bisa diperebutkan, tetapi merupakan amanah suci yang diturunkan melalui garis keturunan yang sah dan diakui oleh para tetua adat.

 

Proses penetapan Mokole selalu melibatkan ritual, simbolisme, dan pertimbangan spiritual yang tidak dapat diukur dengan standar rasional politik modern.

 

Perubahan paradigma terhadap sistem kerajaan tradisional kerap kali dipicu oleh pengaruh eksternal, terutama oleh dinamika sosial-ekonomi yang berkembang di wilayah tersebut. Mekongga saat ini menjadi pusat perhatian karena kekayaan sumber daya alamnya, khususnya di sektor pertambangan.

 

Potensi ekonomi yang besar ini menghadirkan godaan bagi sebagian pihak untuk menafsirkan ulang kekuasaan adat sebagai sarana memperoleh legitimasi ekonomi, bukan lagi sebagai wujud pengabdian terhadap nilai-nilai leluhur dan keseimbangan alam.

 

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa modernisasi tidak selalu berjalan seiring dengan pelestarian budaya. Apabila adat hanya dijadikan simbol tanpa penerapan nilai-nilainya, maka identitas kolektif masyarakat Mekongga akan kehilangan ruhnya.

 

Di sinilah pentingnya menjaga keseimbangan antara kemajuan zaman dan kelestarian tradisi. Adat tidak boleh ditinggalkan, tetapi harus ditempatkan sebagai pedoman moral yang memandu setiap langkah pembangunan dan kebijakan lokal.

 

Oleh karena itu, sudah sepatutnya seluruh pihak baik keluarga kerajaan, lembaga adat, maupun pemerintah daerah mengembalikan proses penetapan Raja Mekongga kepada mekanisme yang berlandaskan hukum adat yang sah. Pelibatan tetua adat, ahli sejarah, dan rohaniawan lokal menjadi langkah strategis untuk memastikan keputusan yang diambil tetap berada dalam koridor kebenaran tradisi.

 

Dengan demikian, Mekongga dapat mempertahankan jati dirinya sebagai kerajaan adat yang berdaulat secara budaya dan bermartabat di tengah arus globalisasi.

 

Mekongga bukan sekadar simbol kejayaan masa lalu, melainkan cermin dari kearifan lokal yang masih relevan untuk masa kini. Menjaga Mekongga berarti menjaga nilai spiritual, sosial, dan ekologis yang diwariskan oleh para leluhur.

 

Dalam menghadapi godaan zaman modern, hanya dengan berpegang pada adat dan kebenaran sejarah, Mekongga dapat tetap berdiri tegak bukan di atas kepentingan pribadi, melainkan di atas kehormatan dan keluhuran warisan nenek moyang.(*).

 

Redaksi Nuansa Sultra. Com

  • 1.145 Jamaah Haji Asal Sultra Diberangkatkan Melalui Bandara Haluoleo Kendari

  • 100 Hari ASR-Hugua Dinilai Gagal : FAMHI Soroti Minimnya Realisasi Janji Kampanye

  • 11 DPD LAT Kompak Dukung Lukman Abunawas, Komitmen Memajukan Adat dan Budaya Tolaki

  • 18 KPM di Desa Tongandiu Terima BLT-DD Tahun 2025 dan Insentif Honorer Aparatur Desa, Jelang Idul Fitri 1446 Hijriah

PENERBIT