Opini oleh : Hiswaluddin, S.H.
KOLTIM, NUANSA SULTRA – Hari Rabu, 27 Agustus 2025, tampak beberapa ruangan di Sekretariat Daerah (Setda) Kolaka Timur (Koltim) diperiksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah ini merupakan lanjutan dari penangkapan Bupati Koltim, H. Abd. Azis, SH., MH. beberapa waktu lalu.
Di tengah perhatian publik yang begitu besar, muncul pertanyaan : apa sebenarnya makna hukum dari rangkaian penggeledahan ini, dan bagaimana dampaknya bagi jalannya pemerintahan daerah?
Dalam perspektif hukum acara pidana, penggeledahan merupakan bagian dari proses penyidikan yang sah, sebagaimana telah diatur dalam Bab III Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 32 hingga Pasal 36, memberikan kewenangan kepada penyidik untuk mencari bukti dengan cara menggeledah rumah, kantor, maupun tempat lain yang diduga menyimpan dokumen penting. Maka, apa yang dilakukan KPK di Koltim bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan instrumen hukum untuk memperkuat bukti di persidangan nantinya.
Namun, publik sering kali menilai penggeledahan sebagai “Vonis Dini”. Padahal, asas praduga tak bersalah tetap harus dijunjung tinggi. Seseorang, termasuk seorang bupati, tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap “inkracht van gewijsde”. Oleh karena itu, penggeledahan hendaknya dipandang sebagai tahapan teknis penyidikan, bukan penilaian moral atas pribadi yang bersangkutan.
Dari sisi tata kelola pemerintahan, rangkaian proses hukum ini memberi dampak nyata. Kekosongan kepemimpinan di Koltim menimbulkan pertanyaan soal keberlanjutan program daerah. Secara hukum tata negara, mekanisme ini penting agar pelayanan publik tetap berjalan, meski kepala daerah sedang menghadapi proses hukum.
Untungnya ada gerak cepat dari pemerintah untuk mengisi kekosongan ini. Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, resmi menyerahkan Surat Keputusan (SK) Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Koltim, kepada Wakil Bupati, H. Yosep Sahaka, S, Pd., M.Pd. Penyerahan dilakukan di Kantor Gubernur Sultra, Selasa (12/8/2025).
SK Nomor 800.1.1.3.3/7456 itu, ditetapkan di Kendari pada 11 Agustus 2025 lalu. Penunjukan ini menandai langkah baru bagi H. Yosep Sahaka dalam memimpin roda pemerintahan di Koltim.
Dasar hukum penunjukan Pelaksana Tugas (Plt) Bupati tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya, serta peraturan pelaksanaannya seperti Permendagri Nomor 74 Tahun 2016. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 juga mengatur tentang hal ini.
Olehnya, dapat disimpulkan bahwa langkah ini juga sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta dalam pandangan sosiologis, langkah penunjukkan Plt Bupati Koltim, tentu memenuhi kebutuhan daerah dalam hal memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejatinya kasus ini mengingatkan bahwa korupsi di level kepala daerah sering kali berakar dari lemahnya sistem pengawasan dan budaya politik yang mahal.
KPK, melalui penggeledahan dan penyidikan, hanya mengobati “gejala”, sementara akar masalah sesungguhnya terletak pada transparansi anggaran, integritas pejabat publik, dan partisipasi masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Pada akhirnya, kasus di Koltim hendaknya kita maknai sebagai cermin, bukan sekadar tontonan. Cermin yang memperlihatkan bahwa sistem pemerintahan masih memiliki celah, namun sekaligus membuka kesempatan untuk memperbaikinya.
Dalam ilmu hukum dikenal istilah kesadaran hukum masyarakat (legal awareness), yaitu tingkat kepatuhan warga terhadap aturan tanpa harus dipaksa. Pemerintahan yang bersih tidak hanya lahir dari hukum yang tegas (rule of law), tetapi juga dari kesadaran kolektif seluruh rakyatnya untuk menolak praktek korupsi sekecil apa pun. Hanya dengan kombinasi antara penegakan hukum yang kuat dan kesadaran hukum yang tumbuh di masyarakat, cita-cita good governance benar-benar bisa terwujud.
Masyarakat tidak boleh hanya menunggu hasil pengadilan, tetapi juga harus aktif mendorong budaya anti korupsi dari desa hingga ke tingkat yang lebih tinggi, karena pada dasarnya pemerintahan yang bersih adalah hasil dari kerja bersama, penegak hukum yang tegas, pejabat yang berintegritas, dan rakyat yang sadar hukum.
REDAKSI NUANSA SULTRA