KOLTIM, NUANSA SULTRA – Dalam upaya menurunkan angka stunting di tahun 2025, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Kabupaten Kolaka Timur terus menggulirkan berbagai program strategis yang bersinergi lintas sektor.
Kepala DPPKB Kolaka Timur, Jumaedah, SKM, menegaskan bahwa upaya pencegahan stunting tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus melibatkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
Menurut Jumaedah, BKKBN memiliki peran sebagai sekretariat dalam pengelolaan manajemen pelaksanaan delapan aksi konvergensi stunting.
“Kami bertugas memfasilitasi dan menghimpun data, bukan sebagai pelaksana intervensi utama. Aksi satu sampai delapan berada di tangan OPD terkait, mulai dari Bappeda, BPMD, hingga Dinas Kesehatan,” jelasnya dalam wawancara resmi bersama media Nuansa Sultra, Selasa (29/04/2025) siang di ruang kerjanya.
Ia merinci pembagian peran tersebut, yakni : aksi satu hingga tiga menjadi tanggung jawab Bappeda, aksi empat dan lima dikoordinasikan oleh DPMD, aksi enam kembali di bawah Bappeda, aksi tujuh dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan, dan aksi delapan berupa evaluasi dilaksanakan bersama Bappeda.
Lebih lanjut, Jumaedah menjelaskan bahwa perubahan peran BKKBN dalam Audit Kasus Stunting (AKS) juga menjadi salah satu tantangan di tahun ini. Jika pada tahun 2024 audit kasus masih berada di bawah BKKBN, maka di 2025, kewenangan itu telah dialihkan. Hal ini mendorong BKKBN Koltim untuk berinovasi dalam pendekatan pencegahan, salah satunya dengan menciptakan program Desa dan Kelurahan Siaga Cegah Stunting.
Inovasi tersebut sudah mulai diimplementasikan melalui peluncuran program Desa/Kelurahan Cegah Stunting, di Kelurahan Tababu beberapa hari lalu. Pemilihan kelurahan sebagai titik awal dianggap strategis, mengingat kelurahan tidak memiliki dana khusus seperti halnya desa.
“Kami tidak ingin masyarakat kelurahan tertinggal hanya karena tidak ada anggaran intervensi, Padahal masalah stunting juga terjadi di sana. Inilah yang mendorong kami memulai inovasi ini dari kelurahan, Jadi, semua warga berhak mendapatkan layanan kesehatan yang sama,” tegas Jumaedah.
Program ini mengedepankan semangat gotong royong dan kepedulian sosial antarwarga. Masyarakat yang mampu diajak untuk menjadi donatur sukarela, menyumbangkan dana seikhlasnya ke posko relawan yang dikelola oleh warga sendiri. Dana ini kemudian dialokasikan untuk membantu pemenuhan gizi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Selain itu, BKKBN juga fokus pada intervensi langsung terhadap kelompok sasaran utama, yaitu ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak di bawah usia dua tahun. Menurut Jumaedah, fase seribu hari pertama kehidupan adalah kunci untuk mencegah stunting secara efektif dan berkelanjutan.
Salah satu program pendukung lainnya adalah Kelompok Bina Keluarga Balita Holistik Integratif (BKB-HIU), Dapur Sehat Atasi Stunting (DASHAT), dan Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (Genting), yang melibatkan tokoh masyarakat dan warga umum untuk menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga miskin. Program ini bertujuan untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi yang cukup selama masa pertumbuhan kritis.
Jumaedah juga mengingatkan bahwa pemerintah desa dan kelurahan harus fokus menyalurkan bantuan kepada kelompok sasaran yang telah ditetapkan, sebelum memperluas jangkauan ke kelompok lain.
“Kita tidak bisa sembarang memberi, Prioritasnya tetap kepada mereka yang paling membutuhkan,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Jumaedah mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk media, tokoh agama, dan pemimpin adat, untuk bersatu mendukung upaya pemerintah dalam percepatan penurunan stunting.
“Kalau sudah terjadi stunting, kita tinggal menangani dampaknya. Tapi kalau belum, mari kita cegah sejak dini, dari seribu hari pertama kehidupan,” pungkasnya.
Penulis : Asrianto Daranga.