Opini oleh : H. Fajar Meronda, SE, MT
Nuansa Sultra.com – Kabar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau kembali mengguncang kesadaran publik. Peristiwa ini bukan sekadar berita hukum, melainkan potret nyata bahwa praktik korupsi di lingkaran kepala daerah belum benar-benar berakhir. Di tengah upaya reformasi birokrasi dan digitalisasi pemerintahan, fakta ini menjadi tamparan keras bagi bangsa yang sedang berjuang menegakkan integritas.
Peristiwa tersebut seharusnya dijadikan bahan pembelajaran bagi semua pihak. Korupsi tidak hanya terjadi karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga akibat mentalitas dan budaya politik yang permisif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, pendekatan edukatif dan preventif menjadi sangat penting agar OTT serupa tidak terus berulang di masa mendatang.
Korupsi tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh subur karena lemahnya integritas, rendahnya kesadaran etika, serta menguatnya budaya politik transaksional yang telah mengakar dalam sistem. Karena itu, solusi pemberantasan korupsi tidak cukup hanya melalui penindakan, tetapi juga harus diiringi pendidikan moral politik yang mencerahkan.
Pendidikan antikorupsi harus masuk ke ruang-ruang belajar, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi. Tujuannya bukan hanya memahami teori hukum, melainkan membentuk karakter yang jujur, bertanggung jawab, serta memiliki rasa malu untuk menyalahgunakan amanah.
Pendidikan antikorupsi perlu dijadikan bagian dari kurikulum dan budaya sekolah. Anak-anak harus diperkenalkan pada nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, serta sikap malu berbuat curang sejak dini. Di tingkat mahasiswa, pembelajaran mengenai etika publik, transparansi, dan akuntabilitas dapat menumbuhkan generasi muda yang memahami pentingnya integritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain itu, partai politik memegang peranan sentral dalam menciptakan sistem politik yang bersih. Proses rekrutmen calon kepala daerah harus berorientasi pada rekam jejak dan integritas, bukan semata-mata pada elektabilitas atau kekuatan modal. Sementara itu, masyarakat sebagai pemilih juga memiliki tanggung jawab besar untuk bersikap cerdas, menolak politik uang, dan menuntut transparansi dari para pemimpinnya.
Pemerintah pusat bersama institusi pengawasan perlu memperkuat sistem digitalisasi dalam tata kelola keuangan daerah. Melalui sistem terbuka seperti e-planning, e-budgeting, dan e-audit, setiap aliran anggaran dapat diawasi oleh publik. Dengan keterbukaan tersebut, ruang gelap penyimpangan keuangan dapat diminimalkan karena korupsi akan sulit tumbuh di tempat yang terang.
Apabila langkah-langkah edukatif dan preventif ini dijalankan secara konsisten dan menyeluruh, maka OTT terhadap Gubernur Riau dapat menjadi yang terakhir dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas tinggi. Sebab, membangun Indonesia yang bebas korupsi bukan semata tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melainkan tanggung jawab moral seluruh anak negeri.
Editor : nuansasultra.com





















