,

Antara Jasa dan Dosa, Refleksi Reformasi 1998 Saatnya Jujur Menilai Soeharto secara Utuh

Oleh : H. Fajar Meronda, SE, MT

(Pelaku Aktivis Reformasi 1998)

 

nuansasultra.com – Dua puluh tujuh tahun sudah waktu berjalan sejak reformasi bergulir. Saya masih mengingat dengan jelas bagaimana tahun 1998 menjadi saksi sejarah perjuangan kami para mahasiswa dan aktivis menuntut turunnya Presiden Soeharto. Di bawah terik matahari, dengan idealisme yang menyala, kami berdiri di garis depan memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan perubahan. Kami percaya, dengan tumbangnya rezim Orde Baru, bangsa ini akan memasuki era baru yang lebih terbuka, bersih, dan beradab.

 

Namun kini, ketika saya menengok kembali perjalanan bangsa pascareformasi, hati kecil saya terusik untuk bertanya, apakah cita-cita besar itu telah benar-benar terwujud? Apakah reformasi yang kami perjuangkan telah membawa kesejahteraan dan kemajuan seperti yang kami impikan? Jawabannya tidak sesederhana yang dulu kami bayangkan. Reformasi memang melahirkan kebebasan politik dan membuka ruang partisipasi rakyat, namun di saat bersamaan, demokrasi kita tumbuh dengan wajah yang tidak ideal. Politik uang merajalela, korupsi masih menjadi penyakit kronis, dan perilaku elit sering kali jauh dari semangat moralitas publik.

 

Kami berjuang untuk mengganti sistem yang dianggap menindas, tetapi yang lahir justru sistem baru yang kadang lebih licik dalam bentuknya. Demokrasi yang kami impikan berubah menjadi arena transaksi politik, bukan ruang perjuangan bagi kepentingan rakyat.

 

Dari titik refleksi inilah saya mulai menilai kembali masa Orde Baru dengan perspektif yang lebih jernih. Saya bukan sedang melupakan sejarah atau menafikan luka masa lalu, tetapi ingin bersikap adil terhadap fakta. Memang benar, di bawah kepemimpinan Soeharto, demokrasi mengalami keterpasungan, kritik dibungkam, partai dibatasi, dan kebebasan berekspresi dikontrol ketat. Namun, kita juga tidak dapat menutup mata bahwa masa Orde Baru meninggalkan jejak pembangunan yang kokoh dan nyata. Swasembada pangan tercapai, infrastruktur tumbuh di seluruh pelosok negeri, pendidikan dasar diperluas, serta stabilitas sosial dan ekonomi relatif terjaga.

 

Soeharto bukan sekadar penguasa otoriter, tetapi juga pemimpin yang mampu membangun struktur ekonomi dan birokrasi yang efektif dalam konteks zamannya. Pembangunan pada masa itu berorientasi pada stabilitas, dan justru stabilitas itulah yang membuat roda ekonomi serta pemerintahan dapat berjalan dengan baik.

 

Ketika kini muncul wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto, saya tidak serta-merta menolak seperti dulu. Saya melihatnya bukan sebagai glorifikasi kekuasaan, melainkan sebagai upaya bangsa ini untuk berdamai dengan sejarahnya sendiri. Memberi gelar pahlawan bukan berarti menghapus kesalahan, tetapi mengakui jasa besar dalam konteks perjalanan bangsa.

 

Bangsa yang besar bukan bangsa yang sibuk menyesali masa lalunya, melainkan bangsa yang berani menilai sejarah secara utuh dengan segala keberhasilan dan kekeliruannya. Dalam hal ini, Soeharto telah memberikan kontribusi besar dalam pembangunan nasional, yang dampaknya masih kita rasakan hingga kini.

 

Sebaliknya, reformasi yang kami perjuangkan belum sepenuhnya berhasil mewujudkan harapan rakyat. Demokrasi tanpa arah pembangunan hanyalah kebebasan yang hampa, sementara pembangunan tanpa etika demokrasi dapat melahirkan kesewenang-wenangan. Dua hal ini seharusnya berjalan beriringan, bukan saling meniadakan.

 

Mendukung pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto bukan berarti mengkhianati semangat reformasi. Justru inilah bentuk kedewasaan politik dan sejarah. Kita tidak menilai masa lalu dengan dendam, tetapi dengan keadilan mengakui jasa tanpa menafikan dosa. Sejatinya, sejarah bangsa ini adalah hasil perjalanan panjang yang penuh kontradiksi, dan dari situlah kebijaksanaan lahir.

 

Kini, setelah lebih dari dua dekade reformasi, sudah saatnya bangsa ini berhenti saling menyalahkan masa lalu dan mulai memperbaiki masa depan. Demokrasi tidak cukup hanya diukur dari kebebasan berbicara, tetapi dari kemampuan negara menghadirkan kesejahteraan dan rasa aman bagi rakyatnya.

 

Refleksi terhadap Soeharto seharusnya menjadi cermin bagi generasi hari ini bahwa kekuasaan sejati bukan terletak pada seberapa banyak kita berbicara, tetapi pada seberapa besar hasil nyata yang kita wariskan. Dalam konteks itu, Soeharto tetaplah bagian penting dari sejarah pembangunan Indonesia seorang pemimpin dengan jasa besar sekaligus kekeliruan yang juga besar.

 

Bangsa ini harus belajar dari keduanya. Tanpa keberanian menilai sejarah secara utuh, kita akan terus terjebak dalam siklus penyesalan dan kehilangan arah. Maka, mari kita akui dengan jujur, reformasi telah memberi kebebasan, tetapi Orde Baru telah memberi fondasi. Tugas kita sekarang adalah menyatukan keduanya menjalankan demokrasi yang produktif, beretika, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

 

Editor : Nuansa Sultra. Com

  • Abd. Azis,Bangun Tim Work Yang Solid, Ibarat Handphone Bagi Tim Yang Lemot Kita ” Install ” agar lebih cepat dan Efektif

  • Adhe Ismail Ananda Soroti Dampak Kebijakan Efisiensi Anggaran pada Otonomi Daerah

  • AKBP Tinton Yudha Riambodo Pimpin Sertijab di Polres Koltim: Strategi Penyegaran dan Penguatan Organisasi

  • AKBP Tinton Yudha Riambodo Pimpin Sertijab, Ipda Jatnika Gantikan Iptu David sebagai Kapolsek Lalolae

PENERBIT